Pendidikan Akhlak ala Nabi Ibrahim AS
Dalam Islam, akhlak memiliki kedudukan yang sangat penting. Dalam salah satu haditsnya, nabi Muhammad saw bersabda “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan kesempurnaan akhlak”. Dalam hadits yang lain rasulullah juga pernah bersabda “Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad). Hal tersebut seolah menegaskan, bahwa Islam adalah akhlak itu sendiri. Baik akhlak kepada Allah sebagai Khalik maupun kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan, dll).
Al-Qur’an, sebagai pedoman hidup umat Islam, banyak memuat kisah-kisah umat terdahulu dengan segala pola interaksi kehidupannya agar dapat dijadikan pelajaran oleh umat setelahnya. Salah satu kisah yang dapat diambil sebagai contoh adalah kisah nabi Ibrahim as; yakni tentang bagaimana nabi Ibrahim as memberikan keteladanan dalam memberikan pendidikan akhlak kepada keluarganya. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia” .
(QS al-Mumtahanah: 4)
Dalam artikel ini, kita akan mengupas setidaknya tiga hal berkenaan dengan pendidikan akhlak yang diajarkan oleh khalilullah Ibrahim as kepada anaknya.
1. Penanaman tauhid kepada anak sejak dini
Dalam QS al-Baqarah: 132, dijelaskan bahwa nabi Ibrahim as telah menasehati anak-anaknya agar senantiasa memegang teguh keimanan. Allah swt berfirman:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.
(Q.S. al-Baqarah: 132)
Dari ayat tersebut dapat kita pahami, bahwa nabi Ibrahim as tidak cukup dengan hanya melaksanakan perintah, ia bahkan berpesan pada anaknya agar meniti jalan yang ia lalui dan berpesan pula kepada cucunya, Ya’qub.
Hal ini merupakan prinsip yang pada zaman sekarang ini justru banyak diabaikan. Banyak orang tua yang gelisah tentang masa depan anaknya. Akan tetapi kegelisahan tersebut “hanya” seputar materi saja. Apabila nabi Ibrahim merisaukan masa depan anak-anaknya dengan sering mengatakan maa ta’buduna mimba’di? Apa yang akan engkau (wahai anak-anakku) sembah sepeninggalku? Kita justru lebih banyak risau dengan memikirkan maa ta’kuluna mimba’di? (Apa yang akan engkau makan sepeninggalku?).
Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, yakni dengan menyiapkan bekal materi demi anak-anak kita kelak. Akan tetapi, apabila hal tersebut menjadi prioritas utama bahkan menjadi satu-satunya prioritas atau tujuan dalam hidup, maka generasi yang lahir setelah kita tidak akan memiliki landasan akidah yang kuat sebagai pondasi kehidupannya.
2. Senantiasa membangun komunikasi intensif
Setelah menanamkan nilai-nilai ketauhidan, hal yang tidak kalah penting dalam proses pendidikan akhlak adalah membangun komunikasi yang intensif dengan cara yang komunikatif. Sebab, interaksi antara anak dan orang tua, diakui atau tidak merupakan proses penanaman pendidikan akhlak yang dialami secara langsung oleh seorang anak.
Sebagai contohnya kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa kurban yang dialami oleh nabi Ibrahim as dan anaknya. Dalam QS as-Saffat: 102, Allah swt berfiman:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
(Q.S. as-Saffat: 102)
Sebuah percakapan singkat antara orang tua dan anak, akan tetapi memiliki samudera hikmah yang tiada ada habisnya untuk terus kita selami.
Ucapan nabi Ibrahim as: “maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu” merupakan sebuah contoh komunikasi yang konsultatif, yakni meminta tanggapan sang anak atas sebuah permasalahan. Nabi Ibrahim as, walaupun mendapatkan perintah dari Allah tidak lantas serta merta menyampaikannya dengan sikap yang otoritatif, atau dengan nada yang instruktif; melainkan justru dengan cara yang demokratis, berdialog, dan tidak memaksa. Gaya komunikasi tersebut secara tidak langsung telah memosisikan anak sebagai manusia yang mampu berfikir dan berakal, bukan sebagai benda yang “hanya” menuruti kemauan orang tuanya semata. Gaya komunikasi nabi Ibrahim as, dalam bahasa modern biasa disebut dengan memanusiakan manusia, atau humanisasi.
3. Menyiapkan lingkungan yang kondusif
Dalam pendidikan akhlak, lingkungan (environment) memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak. Baik dan buruknya perkembangan fisiologis, psikologis, dan sosio-kultural seorang anak, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan memiliki peran strategis dalam menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kepribadian yang berakhlak. Dalam QS Ibrahim: 35, Allah swt berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”.
(Q.S. Ibrahim: 35)
Dalam ayat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Quraih Shihab dalam tafsirnya, bahwa setelah nabi Ibrahim as selesai membangun Ka’bah ia berharap agar ia dan keturunannya dapat hidup dengan kondisi sosial yang aman, dapat mengambil pelajaran (dari umat terdahulu) dan meninggalkan kesyirikan kepada Allah.
Salah satu pelajaran yang dapat diambil yakni sebagaimana yang dialami oleh kaum Ad, Tsamud, dan Fir’aun. Kaum Ad mampu membangun bangunan yang luar biasa indah, kaum Tsamud sangat ahli dalam seni lukis dan pahat, sedangkan kaum Fir’aun sangat ahli dalam teknologi. Akan tetapi dikarenakan kemungkaran dan kemusyrikan yang mereka perbuat kepada Allah, pada akhirnya justru menjadi sebab dari hal ihwal kebinasaannya.
Oleh karena itu, menempatkan anak dalam lingkungan yang kondusif, lingkungan yang dapat menjaga nilai-nilai ketauhidan yang telah ditanamkan oleh orang tua, adalah sebuah keharusan. Berawal dari kesadaran ini pulalah yang menjadikan Unissula konsisten dalam menerapkan lingkungan yang ber-BudAI (Budaya Akademik Islami).
Pada akhirnya, nilai-nilai pendidikan yang diajarkan oleh nabi Ibrahim as kepada anak-anaknya memiliki sebuah orientasi yang jelas, yakni ta’abbud ila Allah (beribadah kepada Allah). Bagaimanapun dan akan menjadi apapun nantinya seorang anak ketika tumbuh dan berkembang, harus memiliki sebuah pijakan yang kuat dan jelas. Ibarat sebuah pohon, hanya pohon dengan akar yang kuat dan kokohlah yang mampu tumbuh dan menghasilkan batang pohon yang kuat pula. Tidak hanya itu, ia juga mampu menghasilkan buah dan dapat bertahan dari terpaan angin yang mencoba untuk menumbangkannya. Wallahu a’alamu bisshawab
Oleh : Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd. – Dosen Pendidikan Agama Islam UNISSULA