Muharram Sebagai Momentum Membangun Kesalehan Digital

Penceramah: Anis Tyas Kuncoro, S.Ag., MA.

Di dalam kitab At-Tabsirah karangan Ibnu Aljauzi dijelaskan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia derajatnya. Dinamakan dengan bulan Muharram karena Allah mengharamkan peperangan dan konflik. Dan lebih daripada itu, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa setiap perbuatan maksiat di bulan haram akan mendapat siksa yang lebih dahsyat. Dan begitu pula sebaliknya, perilaku ibadah kepada Allah akan dilipat gandakan pahalanya.

Bulan Muharam adalah momentum awal tahun hijriah yang datang mengajak umat Islam untuk terus senantiasa menerenungi nilai spiritual dalam peristiwa hijrah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Bukan semata tentang perpindahan geografis dari Makkah ke Madinah, tapi hijrah adalah simbol revolusi nilai, keberanian mengambil resiko demi perubahan, serta titik mula peradaban Islam yang inklusif, adil, dan berorientasi pada masa depan. Namun jika hijrah pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berarti melampaui batas-batas fisik dan sosial demi mewujudkan nilai tauhid di ranah publik, maka kita dihadapkan pada bentuk hijrah yang berbeda, yakni hijrah dengan membangun kesalehan digital.

Di tengah alus deras teknologi informasi dan revolusi digital, umat Islam ditantang untuk melakukan transformasi diri dan masyarakat dalam menyikapi dunia digital yang kian kompleks. Transformasi digital telah mengubah cara umat Islam bekerja, belajar, berdakwah, bahkan beribadah. Platform media sosial menjadi mimbar baru, IKAMES menjadi pasar digital umat, dan fintech syariah mulai merambah kantong-kantong ekonomi keumatan. Namun begitu, terkadang kemajuan sains teknologi tidak selalu berjalan seiring dengan kematangan akhlak dan penguatan ruhiah manusianya. Justru dalam banyak kasus, digitalisasi telah menggeser nilai-nilai akhlak dari dakwah yang mencerdaskan menjadi dakwah yang sensasional. Dari diskusi ilmiah menjadi debat kusir yang penuh ujaran kebencian. Di sinilah pentingnya menjadikan bulan Muharam sebagai awal bulan hijriah sebagai titik reflektif dalam membnai semangat berhijrah secara digital dari pola hidup yang konsumtif menjadi kontributif serta membangun teknologi digital yang berujung pada nilai-nilai maslahat dan kesalehan amal bukan sekedar mengikuti tren dan sensasi.

Di era digital saat ini kita menyaksikan fenomena baru dalam kehidupan beragama, yakni munculnya kesalehan digital, kebaikan yang tampak dalam dunia sosmed, kebaikan yang tampak dalam dunia online yang seringkali tidak berbanding lurus dan kesalehan amal nyata dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial menjadi ruang publik yang penuh dengan narasi-narasi Islam, nasihat-nasihat agamis, kutipan Al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama, serta reminder ajakan kepada kebaikan. Namun ironisnya, tidak sedikit dari para penggunggah konten tersebut justru tidak mencerminkan pesan kebaikan yang diunggahnya itu dalam perilaku keseharian. Apa yang tampak secara online belum tentu mencerminkan diri secara offline. Narasi agama menjelma sebagai status dan reminder ajakan kebaikan hanya sebatas form belaka. Perasaan takut ketinggalan dari satu peristiwa informasi atau tren yang sedang viral dan populer. Fenomena ini banyak dipengaruhi oleh kemudahan akses informasi keagamaan secara instan melalui internet. Dan tentunya tidak bisa dipungkiri internet memang telah menjadi ladang ilmu pengetahuan yang luas, tetapi juga dapat menyesatkan bila tidak di-sharing dengan ilmu dan irsyad yang benar.

Tidak sedikit orang yang belajar agama hanya dari potongan video pendek, kutipan status ataupun ceramah viral tanpa irsyadat, petunjuk atau bimbingan arah seorang guru ahli agama dan tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya sikap dan semangat keberagamaan yang dibangun berhenti pada tataran permukaan, tidak menyentuh hati, memberikan bekas yang membentuk perilaku akhlak baik. Namun yang lebih mengkhawatirkan, disadari ataupun tidak, banyak juga orang justru menjadikan kesalahan digital sebagai sarana pencitraan dan tampilan luar yang manis di permukaan. Hal demikian selaras dengan pandangan sebagian kalangan ahli tafsir saat menukil penafsiran saat sahabat Ibnu Abbas yang menyinggung sifat riya dalam diri orang-orang yang mengerjakan shalat bila sedang bersama orang lain sehingga dikategorikan sebagai orang-orang yang mendustakan agama.

Allah berfirman dalam surah Al-Maun ayat 6, yaitu orang-orang yang berbuat riya. Hakikat iri adalah ingin memperoleh kenikmatan duniawi melalui peribadatan yang secara ringkas bermakna hasrat untuk mendapatkan tempat di hati manusia. Mereka ingin memperlihatkan kepada manusia bahwa ia sedang menjalankan amalan ketaatan, amalan kebaikan. Jadi menampilkan kebaikan atau adaban kebaikan semata-mata dipakai hanya untuk perisai diri, untuk memperlihatkan jika dirinya sedang berbuat baik atau mengajak kebaikan. Padahal keinginan yang sebenarnya ialah agar ia disebut sebagai orang yang baik saja bukan lantaran mengharap pahala ataupun takut siksa. Lain daripada itu, ketika mereka mengerjakan amal ketaatan, tujuannya untuk mencari simpati dari orang lain supaya terpandang di masyarakat. Jadi niatnya bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi supaya tetap dekat dengan orang-orang yang mereka inginkan. Dan perbuatan semacam ini banyak terjadi di kalangan orang-orang munafik sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi yang kelak topeng atau kedok mereka akan dibuka di hadapan umat manusia. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa saja yang mencari-cari pujian, niscaya Allah akan memperdengarkan hakikat niatnya yang buruk di hadapan manusia. Dan barang siapa berbuat riya, niscaya Allah akan memperlihatkan niat buruknya di hadapan manusia”. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Gambaran kehidupan religitas yang gencar ditunjukkan secara digital ini memang memabukkan. Tidak hanya mereka yang mempertontonkan, tetapi juga orang-orang yang menonton. Buruknya lagi, fenomena semangat beragama yang tidak dilandasi ilmu ini membuat sebagian orang merasa dirinya paling benar dan menilai orang lain salah hanya karena tidak cocok dengan apa yang mereka pelajari secara sepihak di internet. Keangkuhan spiritual ini menjelma dalam bentuk penghakiman dan celaan kepada orang yang berbeda pandangan serta meruntuhkan nilai-nilai maslahat dan kesalehan. Oleh karenanya, Islam terus dan terus mengajarkan agar ilmu mendahului amal. Ilmu yang benar akan menumbuhkan sikap tawadu, rahmah, dan rasa tanggung jawab. bukan sikap merasa paling benar dan mudah mencaci. Kesalehan hakiki adalah yang tertanam menghujam dalam hati, tampak terpendar dalam perilaku dan bukan sekedar ditampilkan dalam status digital.

Untuk itu, inilah saatnya kita kembali menata niat dan memperkuat fondasi keagamaan. Belajar agama tidak cukup dengan click dan scroll. Tapi dibutuhkan kehadiran dulu agama, ketekunan dalam belajar menuntut ilmu dan menghiasi diri dengan akhlak karimah. Mari kita bersama membangun kesalihan digital dengan menjadikan piranti digital sebagai ladang kebajikan dan ladang pahala serta bukan panggung kepura-puraan yang hanya menampilkan status sebagai citra diri.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam Al-Qur’an surah As-Shaf ayat 3 “Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”. Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak hanya saleh di dunia maya, tapi juga saleh dalam kehidupan nyata. menjadi pribadi yang jujur, amanah, istiqamah, benar-benar selaras antara perkataan dan perbuatan, dan senantiasa menebar kebaikan. Allahumma aamiin.

Sumber: https://youtu.be/qQV1QZnvvY0

Scroll to Top