
Penceramah: H. Tali Tulab, S.Ag., M.S.I
Imam Ibnu Athaillah Asakandari menyampaikan pesan tentang bagaimana kita harus bersikap atas nikmat yang kalau benar sikapnya akan menjadikan nikmat itu berkelanjutan. Tetapi andai kata salah sikap berarti akan membiarkan nikmat itu hilang. Pada pesan penting beliau menyatakan, “Barang siapa tidak bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada, maka dia berarti akan membiarkan nikmat itu hilang. Dan barang siapa mensyukuri nikmat-nikmat itu, maka berarti dia telah mengikatnya dengan ikatan yang memang sudah seharusnya.”
Nikmat yang ada pada kita memang begitu banyak dan beragam baik secara lahir maupun batin pada diri kita maupun keluarga kita bahkan termasuk institusi di mana kita ada termasuk di UNISULA ini. Sikap yang harus kita pegangi terhadap seluruh nikmat itu adalah mensyukurinya. Bersyukur dengan seluruh nikmat itu akan menjadikan nikmat itu berkelanggengan bahkan sangat potensial sebagaimana dijanjikan Allah untuk diberikan tambahan yang lebih besar lagi.
Dalam surat Ibrahim ayat 7 Allah berfirman, وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
Sungguh andai kata kamu bersyukur maka sungguh akan aku berikan tambahan kepadamu. Tetapi apabila sikapnya bersalah, tidak tepat mensikapi nikmat itu, malah digunakan untuk bekal maksiat atau mengingkari bahwa nikmat itu adalah bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka akan ada ancaman walain kafartum innaabi, kamu kufur mengingkari nikmat itu termasuk menggunakan nikmat untuk maksiat pada Allah. Maka ketahuilah bahwa siksaku begitu sangatnya.
Dalam ayat lain yaitu surah Ar-Ra’ad, ada ayat yang seringkali dipahami secara tidak tepat oleh beberapa orang, yaitu “Bahwa Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu kaum, suatu komunitas, golongan orang sampai mereka itu merubah apa yang ada pada diri mereka”. Ayat ini disalah pahami bahwa untuk merubah keadaan terpenting dan paling menentukan adalah orang yang bersangkutan. Tetapi oleh para ulama tafsir bila kita cermati mereka menafsirkan bahwa nikmat yang ada pada siapapun yang dianugerah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan tetap berkelanjutan bahkan ditambah selama orang itu syukur. Tetapi bila sikapnya berubah menjadi kufur, mengingkari nikmat itu atau menyalahgunakan nikmat itu untuk hal-hal yang maksiat yang tentu saja merugikan pelakunya maupun lingkungannya, maka Allah akan merubah nikmat itu menjadi siksa, dicabut nikmatnya. Bahkan yang ada adalah kerugian dunia dan akhirat. Segaris dengan itu, ulama ahli hikmah menyampaikan pesan singkat yang menyatakan “Sikap syukur atas nikmat itu akan mengikat nikmat yang sudah ada. Sekaligus akan menjadi cara untuk mendapatkan nikmat-nikmat yang belum ada”.
Dalam syarah hikam dijelaskan ada tiga cara bersyukur.
- Pertama dan paling pertama, paling utama adalah syukur dengan hati. Yaitu kesadaran bahwa nikmat itu sumbernya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Meskipun secara lahir mungkin ada usaha kita, ada bantuan dari lingkungan dan keluarga atau sahabat pekerja, tetapi harus semua itu sejatinya adalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam surah An-Nahl 53 Allah berfirman, وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
Segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah. Kemudian, apabila kamu ditimpa kemudaratan, kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. Apapun nikmat yang ada padamu sejatinya adalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. - Kemudian yang kedua, setelah syukur ada dalam hati, jalutnya diungkapkan pula dengan lisan. Lisan menyadari mengungkapkan bahwa dia punya nikmat dan itu sumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ada banyak orang yang ketika nikmat hilang, gersah-gersulah dia mengungkapkan pada orang lain. Tapi kata ada nikmat dia pelit untuk berikan informasi pada orang lain. Khawatir kalau nikmatnya diganggu orang lain. Karena memang secara nyata, secara sosial kita tahu kullu nikmatin mahsudun. Setiap orang yang punya nikmat itu akan menjadi sasaran kedengkian orang lain dan menjadi sasaran kedengkian saja tidak nyaman. Sehingga kadang-kadang untuk preventif ada yang ketika mendapat nikmat tidak diinformasikan pada orang lain.
Dalam Al-Qur’an surah Ad-Dhuha ayat 11 Allah berfirman, وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْࣖ
Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur). Adapun nikmat-nikmat Tuhanmu, informasikan, katakan pada orang lain. Dan dalam hadis Nabi, beliau memberikan pada kita, malam yaskurinas lam yaskurillah. Siapapun yang tidak mau berterima kasih pada sesama manusia yang dipilih oleh Allah untuk datangnya nikmat kepada yang bersangkutan, maka dia berarti tidak bersyukur pula kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. - Cara syukur yang ketiga adalah mengekspresikan syukur dengan perilaku, dengan perbuatan, dengan ibadah, dengan amal saleh. Artinya tambah besar nikmat seseorang seharusnya ibadahnya tambah baik, tambah meningkat, demikian juga amal salehnya untuk sesama di kantor, di lingkungan masyarakatnya. Seharusnya begitu. Allah berfirman yang secara khusus secara teks diarahkan pada keluarga Nabi Daud. Awud syukro. Bekerjalah, beramallah wahai keluarga Daud dengan motivasi syukur. Dan Nabi kita mencontohkan beliau ibadah begitu banyak sampai kakinya itu bengkak. Ketika ditanya Siti Aisyah, “Mengapa masih harus beribadah sebanyak itu dan berisiko bengkak?” Nabi ternyata menyatakan bukankah aku ingin menjadi orang hamba Allah yang banyak bersyukur? Semoga Allah membimbing kita menjadi orang yang bersyukur dan bisa melanggengkan nikmat kita dengan anugerah-Nya. Aamiin Ya Rabbal Aalamin.
Sumber: https://youtu.be/TDv2rcVnoaE