Memulai Ibadah Dengan Sifat Rohani Yang Benar
Hikmah dari kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah Al-Sakandari ‘Di antara tanda-tanda suksesan keberhasilan pada titik akhir nanti adalah sikap kembali kepada Allah pada titik awal’. Ketika memulai berkaitan dengan hikmah tersebut kita ingat hadits Nabi yang mengajarkan pada kita tentang pentingnya niat dalam hati siapapun ketika melakukan amal apapun. Nabi bersabda dalam hadits shahih “Sesungguhnya amal itu ditentukan oleh niatnya, keabsahannya disempurnakan ditentukan oleh niatnya. Kesempurnaan amalnya juga ditentukan oleh amalnya keistiqomahan”. Dalam amal itu juga ditentukan oleh niatnya, karena itu Nabi mengingatkan setiap orang memiliki apa yang dia niatkan. Dalam hadits lain Nabi mengingatkan ada amalan yang tampilannya adalah amal akhirat, karena salah niat bisa berubah menjadi amal duniawi dan sebaliknya. Ada amal yang tampilannya adalah amal duniawi seperti bekerja mencari rezeki merawat keluarga, merawat rumah dan seterusnya. Semua itu tampilannya duniawi. Tapi karena tatanan niat yang baik yang benar bisa berubah menjadi amal ukhrawi dan Nabi dalam hadits yang lain mengingatkan “Saya tidak khawatir atas umatku, mereka akan kembali menjadi Syirik menyembah patung, menyembah matahari dan seterusnya. Yang paling aku takutkan adalah Syirik Khofi”. Nabi menjelaskan yang dimaksud Syirik Khofi adalah salah tujuan dalam amal. Kalau kita tengok Al Jali menggambarkan ada orang yang beramal itu dengan mentalitas pedagang amal apapun mentalitasnya adalah akan mendapatkan apa bisa apa itu duniawi bisa juga apa itu akhirat termasuk mencari Surga berkaitan dengan model mental semacam itu. Ada hadits Nabi yang menghikayahkan Hadits Qudsi, Allah berfirman “Apakah aku tidak layak untuk diibadahi?” Andai kata aku tidak mencipta surga dan aku tidak mencipta neraka dalam masalah niat ini. Penting kita ikhlas. Ikhlas itu artinya sejak awal kita harus sadar tujuan adalah lillah karena Allah. Memerintahkan ada ayat dan hadits yang memerintahkan amalan itu lillah juga bisa dimaknai tujuannya adalah hanya karena mencari Ridha Allah. Pencarian Ridha Allah menjadi tujuan tertinggi meskipun mungkin sebagai manusia masih punya tujuan yang tetap dikontrol dengan Ridha Allah itu kerja, tentu saja wajar kalau ingin mendapatkan penghasilan tetapi masih kotor dengan diridhai Allah atau tidak diridhai laksanakan. Tidak diridhai mundur, cari yang lain itu tujuan tertinggi amal berarti Ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lebih dari semua itu yang disampaikan oleh Imam Ibnu Athaillah Al-Sakandari mengingatkan pada pentingnya tatanan batin seseorang ketika memulai yaitu suluk proses perjalanan rohani menuju makrifat atau wusul kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Untuk itu penting memulai dengan sikap batin yang benar.
Imam Ibnu Ubad Ar-Randi menjelaskan “Setiap orang yang melakukan suluk punya titik awal atau Bidayah yaitu ketika dia memulai suluknya, kemudian punya juga titik akhir yaitu keadaan ketika dia wushul sampai tingkat ma’rifat pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. Karena itu “Barang siapa menata dengan benar titik awalnya dengan cara kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala”. Ingat Allah mengajarkan ‘innalillahi wa inna ilaihi rojiun’ kita milik Allah, kita tidak ada diadakan oleh Allah tetap ada juga karena izin Allah bisa menjalani apa yang tugas kita juga karena pertolongan Allah. Yang kedua adalah “Berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala” artinya melakukan usaha apapun termasuk dalam proses perjalanan rohani dengan cara ibadah. Dengan menekuni dzikir dan seterusnya tetap saja harus ada sikap tawakal pasrah pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan selanjutnya yang ketiga harus ada dalam tatanan rohani seorang adalah mohon pertolongan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tentu saja ini sesuai dengan hadits Nabi yang mengajarkan satu doa kepada sahabat Abdullah bin Abbas dan pesan Nabi bacalah doa ini setiap kali selesai shalat. Dalam doa itu kita mohon maunah pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk bisa syukur, untuk bisa ibadah dengan baik, untuk bisa dzikir dengan baik. Artinya menjalani tugas sebagai Abdullah ibadah dzikir pada Allah, syukur pada Allah. Jangan hanya mengandalkan kemampuan diri, banyak orang yang sehat ternyata shalat tidak kuat. Ada orang yang kuat melakukan pekerjaan yang berat tetapi nyatanya tidak bisa puasa Ramadhan. Ada yang kuat secara fisik ternyata secara rohani sangat lemah. Dapat ujian Allah sedikit dalam bentuk dikurangi nikmat sehat bisa sudah sangat berkeluh kesah atau dikurangi rezekinya sudah langsung melakukan hal-hal yang haram. Semua itu tentu saja kelemahan dari sisi mentalitas. Kalau orang memulai dengan sikap yang demikian diharapkan dia aflaha wa anjaha fi nihayatil dia akan beruntung akan sukses dalam titik akhirnya mencapai ma’rifat dan wushul kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau memang seseorang benar-benar sampai wushul kepada Allah, dia akan diberikan aman dari kemungkinan berputar haluan kembali dari suluknya. Bahkan keterputusan dari suluknya dalam realitas kita banyak menemukan orang yang meniru hijrah dari kenakalannya bertaubat dan seterusnya. Sudah berusaha untuk dibimbing dengan baik oleh orang yang memang kompeten untuk itu. Tanpa Pertolongan Allah semua kemungkinan untuk terputus dan berputar haluan sangat mungkin terjadi. Ada sebagian ulama yang membuat pernyataan dan mungkin ini penting untuk kita cermati “Barang siapa punya dugaan bahwa dia bisa wushul kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa Allah mengandalkan selain Allah termasuk dirinya sendiri atau orang lain selain dirinya sendiri, maka dia akan terkena keterputusan. Barang siapa ingin mendapatkan bantuan untuk ibadah kepada Allah dengan dirinya sendiri dia punya dugaan bahwa dengan kesehatannya dengan niatnya dengan perencanaan dirinya sendiri dia bisa beribadah dengan baik tanpa melibatkan pertolongan Allah. Maka dia akan diserahkannya sendiri pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan tentu saja akhirnya secara manusiawi yang ada adalah kelemahan-kelemahannya”.
Kita punya banyak bosan, punya banyak kelemahan mental maupun fisik bisa jadi ada orang yang kita lihat ketika dia sehat ibadah dengan baik, sakit putus ibadahnya atau sebaliknya ada orang yang sakit, ibadah dengan baik tapi ketika sehat maka dia lupa segalanya seakan-akan tidak butuh ibadah, tidak perlu kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tentu saja kita penting untuk mengingat ajaran Islam yang termasuk pokok untuk membuat kita sadar diri adalah Firman Allah “La Haula Wala Kuata Illa Billah” dan beberapa prinsip kita sebetulnya tidak punya daya untuk ibadah, untuk amal saleh kecuali dengan pertolongan Allah. Kita tidak bisa, tidak mampu tidak punya daya untuk menghindari maksiat. Untuk menghindari hal-hal yang jahat yang buruk kecuali dengan pertolongan Allah dengan kesadaran prinsip semacam itu insyaallah kita bisa menata hati kita dan selanjutnya bisa ikhlas dalam amal dan sukses dalam amal kita mendapat Ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Pemateri : H. Tali Tulab, S.Ag., M.S.I
Source: https://youtu.be/MhuXjlnk7PE