Mengukur Derajat Taqwa

Penceramah: Prof. Dr. H. Rozihan, SH., M.Ag

LINK: https://youtu.be/9epsaoqGBCA

24 hari kita telah meninggalkan Ramadhan. Ramadhan yang telah kita menjadi orang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Itu secara jelas disebutkan di dalam surah Al-Baqarah ayat 183. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ  “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Allah telah menetapkan Ramadhan itu sebagai ibadah puasa bagi kita, bagi orang-orang yang beriman, dengan maksud Allah membentuk takwa kita semua.

Kemudian setelah Ramadhan, kita tentunya tidak bisa tinggal diam dan kemudian kita masih diperintahkan untuk menambah modal kita masing-masing. Dan penambahan modal itu yang paling utama adalah juga takwa. Surah Al-Baqarah ayat 197. اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat”.

Sekarang kita tidak lagi berada pada madrasah ruhani selama 1 bulan penuh, tetapi kita sekarang menjadi alumni Ramadhan. Kita setelah keluar diantarkan oleh Ramadhan menjadi manusia suci. Kemudian yang paling penting bagi kita adalah setelah kita dibentuk oleh Allah, dibentuk oleh Ramadhan menjadi manusia yang bertakwa. Bagaimana cara mengukur derajat takwa kita? Ini yang sungguh penting, karena takwa yang kita telah lakukan selama bulan Ramadhan itu akan menjadi lahan untuk meniti pada 11 bulan yang akan datang. Lalu bagaimana cara kita mengukur derajat takwa kita? Oleh karena itu, kita pergunakan pendekatan tasawuf. Sekurang-kurangnya ada tiga cara dalam mengukur derajat kita atau makam alumni Ramadhan. Di mana makam alumni Ramadhan itu? Yang pertama mereka berada derajat syukur. Yang kedua adalah mereka menjadi orang-orang yang mukhlis. Yang ketiga adalah mereka berada pada makam sabar.

Kaitannya dengan syukur itu, Allah berfirman kepada kita dalam surah Saba’ ayat 13. يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًاۗ وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ “Mereka (para jin) selalu bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan kehendaknya. Di antaranya (membuat) gedung-gedung tinggi, patung-patung, piring-piring (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur”. Hai keluarga Daud. Kalau itu sekarang firman itu ditujukan kepada kita, “Hai keluarga Muhammad dan pengikut Muhammad, bekerjalah kamu sekalian sebagai tanda syukur kepadaku.” Sebagai tanda syukur kepada Allah adalah kerja keras. Tapi kata Al-Qur’an, sedikit sekali orang yang syukur. Pada potongan yang pertama ayat 13 surah surat Saba’ itu menyebut yang pertama syukur. Tetapi pada ujung ayat disebutkan dengan kata-kata syakur. Itu artinya ada perbedaan antara syukur dan syakur. Ketika kita menerima nikmat, ucapan spontan yang keluar dari mulut kita adalah Alhamdulillah. Kemudian diikuti dengan mengeluarkan bagian orang lain yang ada pada diri kita. mengikuti mengeluarkan hak orang lain ketika kita menerima nikmat. Itulah yang disebut dengan syukur. Kemudian kita akan meningkat menjadi derajat syakur makam kita yaitu adalah apa saja yang kita peroleh dari Allah, yang kita terima dari Allah, baik itu nikmat ataupun musibah. Itulah yang disebut dengan syakur. Maka Al-Qur’an menyebut sedikit sekali orang yang bisa menatapi, berbuat syukur. Ketika kita menerima cobaan, ketika kita sakit, ketika kita kecewa, apakah kita masih bisa tetap bersyukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Banyak orang yang bersyukur ketika menerima nikmat. Tetapi ketika kita menerima musibah, apakah kita masih bisa bersyukur? Itulah yang disebut syakur. Jadi ketika kita menerima musibah, kecewa, gagal, tapi tetap bersyukur kepada Allah, itulah yang disebut dengan terminologi syakur. Al-Qur’an menyebutkan sedikit sekali orang-orang yang bersyukur semacam itu. Sedikit sekali orang yang tertimpa musibah tetap bersyukur tidak ngresulo.

Kemudian yang kedua adalah mukhlis. Ada perbedaan antara mukhlis dan mukhlas. Apa itu mukhlis? Mukhlis ini adalah ketika seseorang melakukan amal saleh, melakukan perbuatan saleh, perbuatan baik, tapi kita masih teringat, masih mengingat amal saleh yang kita kerjakan. Dan ini adalah makam sebagian dan kebanyakan manusia. Kebanyakan manusia pada tingkat ini mukhlis tapi belum pada tingkat mukhlas. Nah, mukhlas itu apa? Mukhlas itu adalah ketika seseorang sudah tidak merasakan bahwa perbuatan baik itu adalah sebagai perbuatan ikhlas. Artinya ikhlas itu menjadi karakter kita. Ikhlas itu menjadi kebiasaan kita. Jadi sudah tidak lagi memperhitungkan perbuatan baik yang dikerjakan. Itulah yang disebut dengan mukhlas. Dan mukhlas itu kata Al-Qur’an dijamin oleh Allah tidak akan diganggu oleh iblis. Iblis masih kekuatan mengganggu ketika seseorang itu masih pada posisi mukhlis. Masih mengingat-ingat perbuatan baik yang kita lakukan. Al-Qur’an memberikan isyarat pada surah Al-Hijr ayat yang ke-39. قَالَ رَبِّ بِمَآ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ “Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, karena Engkau telah menyesatkanku, sungguh aku akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan sungguh aku akan menyesatkan mereka semua,” Yang artinya iblis itu berkata kepada Allah “Ya Allah karena Engkau telah menyesatkan saya”. Iblis sudah disesatkan oleh Allah. Kemudian apa yang dilakukan oleh iblis? “Saya akan menjadikan menggoda manusia”. Kejahatan yang dilakukan oleh manusia terasa indah. Kejahatan yang dilakukan berulang-ulang itu kemudian tidak lagi dirasa sebagai sebuah kejahatan. Kemudian iblis berkata, “Wala ugwiannahum ajmain.” Saya akan menyesatkan. Iblis akan menyesatkan seluruh manusia manakala mereka belum mencapai derajat mukhlas. Kemudian dalam surah Al-Hijr ayat yang ke-40 Allah mengingatkan, اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ “Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (karena keikhlasannya) di antara mereka”. Orang-orang yang tidak akan diganggu oleh iblis. Mereka itulah hamba-hamba Allah yang mukhlas. Artinya bahwa perbuatan baik yang kita lakukan sudah tidak lagi kita ingat-ingat, sudah tidak lagi kita hitung karena itu merupakan kebiasaan kita dan merupakan karakter kita.

Yang ketiga adalah masabir. Sabar. Apa sesungguhnya sabar itu? Sabar itu bukan berarti tidak berbuat dan tidak melawan. Sabar itu bukan diam dan tidak melawan, tapi sabar adalah melakukan pengendalian diri di saat kita memiliki kemampuan mengendalikan diri di saat kita memiliki kemampuan. Itulah yang disebut dengan sabar. Contoh yang sederhana kita ambil di sana. Kalau kita itu memiliki uang, kita akan membeli sesuatu. Kita mempunyai uang untuk membeli sesuatu. Kemudian nurani kita membisikkan kepada kita. Tidak etis kita membeli sesuatu ketika tetangga di sekeliling kita sedang mengalami kesulitan. Inilah yang disebut dengan sabar. Kemudian naik derajat kita. Maka pada bulan Ramadhan itu kita dibentuk menjadi orang yang sabar. Karena apa? Kita mampu berbuat makan dan minum, tetapi kita tidak melakukan itu. Itu adalah salah satu indikator menapaki derajat orang-orang yang bertakwa. Kemudian sabar ini meningkat menjadi masabir. Apa perbedaan antara sabar dan masabir? Sabar itu adalah ketika seseorang mampu menahan diri, tidak melakukan sesuatu ketika dirinya mampu. Tetapi kalau masabir itu adalah kesabaran yang ajeg permanen dan tidak akan berubah. Bahagia atau nestapa bagi seseorang yang masabir adalah sama. Di dalam Al-Qur’an disebutkan Nabi Ayub. Kesabaran yang sebentar ketika Nabi Ayub itu sakit, maka dia masih berobat. Bagaimana kutu yang menempel pada tubuhnya itu dibuang? Karena apa? Merasa jijik dan ia segera keinginan beliau segera sembuh. Tapi ketika Nabi Ayub diasingkan oleh istrinya, oleh masyarakatnya sendirian di satu tempat. Kemudian belatung yang keluar dari tubuhnya itu diambil kembali oleh Nabi Ayub. Dulu ketika saya masih bersama orang banyak, saya dilihat orang banyak malu dengan belatung yang melekat pada diriku. Sekarang aku sedang sendirian, sedang menderita. Engkaulah menjadi teman saya. Akhirnya belatung yang lepas dari tubuhnya, dari tubuh Nabi Ayub itu diambil kemudian dikembalikan ke tubuhnya. Inilah dikatakan penderitaan itu sudah menjadi sahabat. Ketika seseorang merasakan penderitaan itu sudah menjadi teman dan sudah menjadi sahabat, itulah yang disebut dengan masabir di dalam bahasa Al-Qur’an.

Karena itulah, ada tiga makam, tiga derajat untuk mengukur takwa kita. Yang pertama adalah syakur. Jadi syukur meningkat menjadi syakur. Kemudian yang kedua adalah mukhlis menjadi mukhlas. Kemudian yang ketiga, sabar menjadi masabir. Mudah-mudahan tiga makam alumnus Ramadhan ini, derajat takwa ini akan membekali kita untuk 11 bulan yang akan datang.

Scroll to Top