Apa Yang Disembunyikan Hati Akan Terlihat Jejaknya Di Wajah
Apapun yang Allah titipkan pada gaibnya syair atau hati nurani seseorang pasti akan tampak pada kesaksian apa yang lahir darinya. Hikmah ini menjelaskan tentang tanda-tanda di mana seseorang bisa mengenali keadaan seorang murid, seorang salik bahkan siapapun tentang apa yang ada di batinnya. Dalam batinnya ada iman, akan ada yang bisa diamati ekspresi iman itu dalam tanda lahir, ucapannya, sikap, dan perbuatannya. Kalau dalam hatinya ada kufur, ada syirik, maka akan tampak pula ekspresi pada apa yang dikatakan, sikap dia dan apa yang dia lakukan. Demikian juga andai kata seorang dalam hatinya ada munafik. Bahkan kalau dalam tatanan tasawuf, andai kata keadaan rohani orang itu keimanannya baik sampai dia mencapai tingkatan ma’rifat. Gimana hatinya merasa atau benar-benar yakin, musyahadah. Apapun yang disaksikan, dengan mata batinnya selalu sambung pada Allah Sang Pencipta, Allah Yang Maha Kuasa. Atau paling tidak dalam tingkatan hatinya itu punya kesadaran murakobah. Selalu dalam pengawasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Keadaan batin yang semacam itu diucapkan ataupun tidak bisa diamati lewat ekspresi lahir dalam ucapan-ucapannya sopan. Tawaduk, banyak bersyukur, banyak berdzikir mungkin itu memang ekspresi iman. Bahkan mungkin sampai dalam tataran musyahadah atau murakobahlah ada orang dalam hatinya ada kufur. Meskipun tidak pernah mengaku, bahkan dia klaim sebaliknya mengaku beriman. Tetapi yang terekspresikan adalah ungkapan-ungkapan yang menunjukkan cinta pada kekafiran. Pembangkangan maksiat dan anti-norma-norma Islam tentu saja akan ada paradok antara apa yang dia klaim sebagai orang yang punya iman. Tetapi yang diucapkan perilaku dan sikapnya ternyata tidak sesuai dengan ekspresi iman.
Ada ayat Qur’an yang mengkritik orang yang mengklaim iman, mengklaim salih, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan iman, tidak merupakan kesalahan. Ayat Qur’an menyatakan “Alangkah buruk, apa yang diperintahkan, apa yang kamu klaim sebagai keimanan itu. Artinya tidak mungkin orang beriman tetapi perilakunya buruk”. Terkait dengan hikmah ini sebetulnya bisa kita pahami karena sudah menjadi kewajaran dalam tradisi kehidupan siapapun. Menemukan bahwa apa yang lahir itu menjadi cerminan batin siapapun. Orang yang punya rasa cinta, kata, tulisan, sikap, perilaku, semua juga akan menggambarkan rasa cinta itu. Sebaliknya, bila cinta sudah hilang berganti dengan kebencian, maka juga akan ada ekspresi yang menunjukkannya. Bahkan ada maqolah Arab yang populer juga, Al-Asratu Tadullu Al-Sarirah. Raut muka itu pun bisa menandakan apa yang ada dalam batin seseorang. Imam Abu Hafiz menyampaikan perkataan yang mirip dengan hikmah ini beliau menyampaikan ”Adab lahir yang baik itu penanda baiknya adab batin”. Seseorang itu bisa didasarkan atau disarikan dari hadits Nabi dimana Rasul bersabda “Andaikata orang ini pusuk hatinya tentu anggota tubuhnya akan pusuk pula, ketika sholat”. Artinya Nabi melihat bahwa sikap tidak usuk yang tampak pada sikap seseorang ketika sholat, itu menandakan bahwa dia pun memang hatinya tidak usuk. Artinya sampai perihal keberagamaan, praktek kebersamaan kita, apa yang tampak bisa diamati itu menandai keadaan batin masing-masing ketika melakukan amal ibadahnya.
Imam Al-Junaid ketika datang ke Iran, dia bertamu kepada Abu Hafiz. Kemudian Al-Junaid melihat para murid-murid Abu Hafiz itu mengelilingi gurunya dalam posisi berdiri, siap menerima perintahnya. Melihat keadaan yang seperti itu relatif aneh menurut Al-Junaid, karena para santri, para murid berdiri di samping para Syeikh. Akhirnya dia sampaikan kritik dengan menyatakan “Wahai Aba Hafshin, kamu telah mendidik murid-murid mu dengan adab raja-raja”. Mendapat kritik demikian, Aba Hafshin menjawab lah “Tidak. Kebaikan adab yang tampak dilahir, itu penanda adab batin”. Imam Ibn Ubbad dalam Syarah Hikam menjelaskan hikmah ini dengan menyatakan bahwa sangat penting bagi siapapun untuk introspeksi diri. Jangan merasa sudah baik, sudah suci rohaninya, padahal secara nyata masih jauh dari perilaku kesalehan. Karena itu “Barangsiapa mengklaim bahwa dalam dirinya itu ada ma’rifat kepada Allah, ada cinta kepada Allah, tetapi tidak tampak pada perilaku lahirnya. Hal-hal yang menjadi buah dari ma’rifat pada Allah, buah mahabbah pada Allah, seperti kesiapan untuk mentaati perintah Allah, suka dan bergembira secara yakin karena musyahadah kepada Allah dan benar-benar meninggalkan maksiat kepada Allah, meninggalkan hal-hal yang mengganggu dzikirnya kepada Allah. Klaim bahwa rohaninya ada dalam ma’rifat Allah dalam mahabbah kepada Allah klaim semacam itu adalah klaim yang bohong”. Dari sisi lain, dengan melihat bahwa apa yang ada pada seorang itu menjadi indikasi atau penanda keadaan batinnya, siapapun yang mencari guru, mencari chef untuk membimbing, penting untuk memperhatikan bukan sekedar apa yang dikatakan, apa yang diklaim oleh orang itu, tetapi perhatikan sikap dan perilakunya. Islam bisa didekati sebagai Islamologi. Banyak orang bahkan guru besar yang mungkin ahli dalam keislaman. Contoh ekstrimnya adalah Sena Purwono yang hafal Quran. Juga pintar beberapa hadits Nabi, tetapi dia mendekati Islam dengan Islamologi. Dia hanya punya banyak ilmu tentang Islam, tetapi dia bukan Muslim. Dia bukan mengimani Islam untuk dirinya sendiri sebagai kebenaran. Dan tentu saja yang demikian tidak layak untuk menjadi guru, untuk menjadi pembimbing yang baik. Pembimbing yang baik yang dicontohkan oleh Nabi, memahami Islam, mengilmui Islam, mengajarkan Islam, sekaligus menjadi contoh terbaik bagaimana Islam dilakukan dalam kehidupan.
Pemateri : H. Tali Tulab, S.Ag., M.S.I
Source: https://youtu.be/xiBfXaGgeTc