TARBIYAH OF RAMADHAN : Niat Ikhlas
Kajian kali ini memang berkaitan erat dengan rukun iman yang pertama. Al-Quran memberitahu ummat manusia tentangthe real God, Tuhan yang sebenarnya (asli), yaitu di surat al-Ikhlaas. Sebagian besar muslim sudah bertahun-tahun hafal surat ini, tetapi permasalahannya sudah bisakah kita membacanya ? menulisnya ? dan mengerti isinya ? Kata al-Ikhlaas secara etimologis berarti murni, asli, belum kecampuran apa-apa, sehingga surat itu menjelaskan Tuhan yang asli menurut al-Quran, konsep Tuhan yang belum kecampuran otak pikiran manusia.
Al-Quran surat al-Ikhlaas menyatakan bahwa the name of the real God is Allah, “katakanlah bahwa dia itu Allah”. Allah(ﷲ) memang menjadi proper name untuk Tuhan yang asli, namun memang tepatnya ditulis dalam bahasa Al-Quran (jika ditransliterasi dalam roman script menjadi Allah – alif lam-lam ha’ – ﷲ). Jadi bukan nama yang lain, bukan
yesus, bukan brahma-wisnu-siwa, bukan sang hyang widi wasa, bukan theos, bukan god, bukan tuhan, dan bukan gusti ingkang murbehing dumadi.
Tuhan yang asli, yaitu Allah, mempunyai ciri-ciri Ahad (Esa), Shomad (Tempat Bergantung), Lam Yaalid (Tidak Melahirkan), Lam Yuulad (Tidak Dilahirkan), dan Lam Yakul-lahuu Kuffuwwan Ahad (Tidak Ada Satupun yang Menyamai-Nya). Ciri pertama dan terakhir merupakan ajaran tauhid (pengesaan Allah, keyakinan satu terhadap Allah) yang meliputi tauhid rubuubiyah, tauhid asma wa sifat, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluuhiyah. Kajian tauhid bisa sangat mendalam / sangat luas.
Ustadz-ustadzah saya pernah mengajarkan bahwa membaca tiga kali surat al-Ikhlaas bernilai sama dengan mengkhatamkan al-Quran. Artinya, jika ayat pertama dan terakhir surat al-Ikhlas berisikan ajaran tauhid, maka surat pertama dan terakhir al-Quran (al-Fatihah dan an-Naas) juga berisikan ajaran tauhid, baik tauhid rubuubiyah(Rabbul-‘aalamiin dan Rabbun-naas), tauhid asma wa sifat (ar-Rahmaan, ar-Rahiim, dan al-Maalik, sebagai salah tiga dari nama dan sifat Allah), tauhid mulkiyah (Maaliki yaumiddiin dan Malikin-naas), dan tauhid uluuhiyah (Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin dan Ilaahin-naas).
Bagaimana manusia seharusnya bersikap (berakhlaq) kepada Allah swt, Tuhan yang sebenarnya. Akhlaq kepada Allah dapat diwujudkan dengan niat ikhlas, sikap taqwa, bersyukur atas nikmat-Nya, muraqabah, dan sebagainya. Niat ikhlas jangan diartikan “gratisan, tidak ada bayaran”, itu arti yang salah-kaprah. Jika orang bekerja kemudian menerima bayaran (imbalan) maka orang ini tidak niat ikhlas, sedang jika ia tidak menerima bayaran maka dia berniat ikhlas. Pernyataan tersebut adalah pernyataan yang belum tentu benar dan tidak pada tempatnya. Masalah imbalan itu urusan perjanjian antar manusia yang harus dipenuhi (jika memang sepakat) karena Allah juga mengajarkan tentang imbalan yaitu pahala atau masuk surga. Rasulullah saw menyatakan, yang artinya, “berikanlah kepada buruh upahnya sebelum kering keringatnya” (HR Abu Ya’la, Ibnu Majah, dan Thabrani).
Niat ikhlas adalah karena Allah semata. Memang seluruh anggota tubuh ini melakukan tugas (beramal) masing-masing karena Allah sebagai Sang Pencipta. Mata melihat, telinga mendengar, hidung membau, mulut bicara/makan-minum, kaki berjalan, otak berpikir, jantung mengurusi peredaran darah, dan sebagainya. Semua pekerjaan itu aslinya terjadi karena mengikuti keinginan Allah al-Khaliq sebagai Sang Pencipta. Jadi, pekerjaan apapun (tentunya yang baik-baik) harus diniiatkan karena Allah semata. Ikhlas karena Allah syarat diterimanya amal. Tentunya jika sudah niat karena Allah, diteruskan dengan amal yang dituntunkan oleh-Nya untuk mencapai ridho-Nya.
Islam disebut dengan ad-diinul-khaalish. Kata al-khaalish mempunyai makna akar kata yang sama dengan al-ikhlaashyaitu murni atau asli. Artinya, Islam adalah agama yang asli (murni) dari Allah, tidak kecampuran dengan hawa nafsu manusia. Allah menciptakaan manusia dengan ad-diin (ciri/sifat, adat kebiasaan, tradisi, jalan, hukum, aturan) yaitu struktur bagian tubuh, tata letak bagian tubuh, fungsi bagian tubuh, dan seluruh sistem yang ada di tubuh (sistem syaraf, pernafasan, pencernaan, peredaran darah, otot, tulang eskresi/sekresi, hormone, dan sebagainya). Sesuai dengan aslinya, tubuh manusia menyerahkan dirinya (ber-aslama, berislam) untuk tunduk-patuh kepada keinginan dan ketentuan atau aturan Allah Sang Pencipta. Jadi, mata manusia (aslinya) berislam kepada Allah dengan melihat, telinga yang asli berislam dengan mendengar, mulut yang murni ciptaan Allah berislam dengan bicara/makan-minum, hidung asli buatan Allah berislam dengan membau, kaki manusia yang murni buatan Allah digunakan untuk berjalan/berlari, otak ciptaan Allah berislam dengan berpikir, jantung dengan mengurusi sistem peredaran darah, paru-paru dengan mengurusi sistem pernafasan, tulang dengan menopang tubuh, dan sebagainya.
Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan (QS al-Imraan 3:83)
Keikhlasan penuh kepada Allah (niat ikhlas hanya karena Allah) menjadi senjata hebat untuk melawan kekuatan setan. Setan tidak mampu menembus orang-orang ikhlas (mukhlisin). Allah berfirman:
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka” (QS al-Hijr 15:39-40)
Keikhlasan penuh kepada Allah berarti menjauhkan diri dari rasa riya (pamer) kepada sesama manusia. Iman seseorang akan sempurna jika ia menjauhkan diri dari riya yang dapat menghancurkan pahala amal sebagaimana api yang membakar kayu kering. Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Tiga perkara, barang siapa hal itu ada pada dirinya, berarti ia menyempurnakan imannya; 1) seseorang yang tidak pernah takut demi agama Allah pada kecaman si pengecam, 2) tidak riya dengan sesuatu dari amalannya, dan 3) jika dua perkara dihadapkan kepadanya, salah satu untuk dunia dan yang lain untuk akhirat, maka ia memilih urusan akhirat daripada urusan dunia” (HR Ibnu Asakir dari Abu Hurairah). Beliau juga menyatakan, yang artinya, “Sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu adalah syirik yang paling kecil. Sahabat bertanya, ‘Apa syirik yang paling kecil itu’? Rasul menjawab ‘riya’” (HR Ahmad).
Wallaahu a’lam bish-shawwab,
Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun
Pengasuh Kajian :
Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Dosen di UNISSULA Semarang
Ph.D Student di Department of Information Studies,
University of Sheffield, United Kingdom
Alumni Aberystwyth University, United ingdom
Alumni Antropologi UGM & Tarbiyah IAIN
Ketua Kibar UK 2009/2010