Tabayyun Di Era Disrupsi
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
(QS. Al-Hujurât : 6)
Imam Abu Hanifah pernah dituduh sesat karena pemikirannya yang mengembangkan nalar kritis disamping dalil Al Quran dan As Sunnah untuk menyimpulkan hukum fiqh. Tuduhan itu tersebar dari Khurasan hingga ke Syam. Imam Al Auza’i dan Imam Ibnul Mubarak yang berada di Syam juga mendengar kabar burung itu.
Imam Al Auza’i kemudian bertanya kepada Imam Ibnul Mubarak “Siapa ahli bid’ah yang bernama Abu Hanifah ? ” Kemudian Ibnul Mubarak mencari tahu tentang Imam Abu Hanifah, dan ia mendapati kitab-kitabnya. Ia kemudian membaca salah satu kitab Abu Hanifah, kemudian mempelajarinya selama tiga hari. Setelah itu ia kembali kepada Imam Al Auza’i dan memberikan kitab yang telah dipelajarinya. Al Auza’i kemudian membacanya dan ia berkata kepada Ibnul Mubarak, “Siapa penulis kitab ini ? Kau harus belajar banyak darinya” lalu Imam Ibnul Mubarak menjawab“Dia adalah Nu’man bin Tsabit, atau Abu Hanifah yang pernah kau anggap sesat”.
Mereka
berdua kemudian menemui Imam Abu Hanifah, yang saat itu sedang berada di Mekah.
Mereka bertiga lantas berdiskusi tentang banyak hal, termasuk masalah aqidah
dan fiqh.
Setelah pertemuan mereka selesai, Ibnul Mubarak bertanya kepada Al Auza’i,
“bagaimana pendapatmu tentang Abu Hanifah ?”. Al Auza’i menjawab, “Aku iri kepadanya karena
banyaknya ilmu yang ia kuasai dan kecerdasan pemikirannya. Dan
aku memohon ampun kepada Allah karena aku telah salah menilai. Sering-seringlah
bersamanya karena ia sama sekali tidak seperti yang aku dengar selama ini”.
Kisah tersebut adalah gambaran nyata bahwa prasangka seringkali mengaburkan pandangan manusia tentang baik-buruknya pribadi seseorang. Saat ini Imam Abu Hanifah dipuji dan diikuti sebagai salah seorang imam madzhab oleh jutaan umat Islam di berbagai negara, tapi dia pernah menjadi korban prasangka orang-orang yang belum mengenal dan memahami pemikirannya dengan baik. Oleh karena itu Islam mengajarkan kita untuk selalu bertabayyun, mengklarifikasi sebuah berita, atau pendapat seseorang langsung kepadanya sebelum mengambil kesimpulan tentang benar dan salahnya pendapatnya.
Imam Bukhari juga pernah dituduh mengatakan bahwa Al Quran adalah makhluk, padahal dia tak pernah mengatakannya. Kabar itu juga diyakini oleh beberapa ulama di Naisabur, yang tak meminta penjelasan Imam Bukhari, sehingga mereka mengeluarkan fatwa sesat terhadapnya. Akhirnya untuk menghindari konflik dan fitnah yang semakin meluas, sang Imam harus meninggalkan Naisabur.
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang.”
[QS. Al-Hujurât :12].
Itulah bahayanya jika kabar burung diyakini dan disebarkan tanpa mau melakukan klarifikasi atau tabayyun terhadap orang yang bersangkutan. Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.
Saat ini, kita memasuki era disrupsi, dimana banyak hal telah tercabut dari akarnya. Internet menggantikan banyak sistem dan budaya konvensional. Aktivitas di dunia maya telah mampu menggantikan apa yang tadinya harus dilakukan di dunia nyata. Dulu untuk bisa bersilaturahmi atau memberi kabar kepada orang lain, seseorang harus menemui orang yang bersangkutan, namun sekarang dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, dua orang yang terpisah jarak ribuan kilometer, bisa saling menatap wajah masing-masing dengan media video call.
Informasi di era disrupsi ini, telah mampu diakses siapa saja. Saat ini yang terjadi adalah banjir informasi. Kejadian apapun di berbagai belahan dunia ini bisa diketahui siapapun kapanpun dan dimanapun dengan hanya berbekal smartphone dalam genggamannya.
Manusia dimudahkan untuk melakukan dan mengetahui apapun. Ini adalah kemudahan di satu sisi, tapi ada banyak hal yang hilang di sisi lain, salah satunya sikap hati-hati dan rendah hati, Karena informasi tak lagi sulit didapatkan, siapapun bisa tahu segalanya. Namun siapa yang bisa memastikan bahwa informasi yang diterima adalah benar adanya ? Apalagi jika sudah terlalu banyak “bumbu komentar” yang menguatkan atau melemahkan sebuah pendapat atau berita meskipun itu belum tentu benar atau salah. Walhasil banyak konflik baik di dunia nyata ataupun maya yang terjadi karena adanya berita yang mudah tersebar tanpa hambatan apapun. Sikap hati-hati dalam menyebarkan berita yang belum jelas, adalah korban era disrupsi yang mungkin akan segera atau mungkin sudah tercabut dari alam pikiran manusia.
Kerendahan hati untuk mau mengakui kekurangan diri dan menahan diri untuk berkomentar juga seakan hampir “punah”. Setiap orang bisa menanggapi siapapun tanpa berpikir panjang, dan bertabayyun terlebih dahulu. Lihat saja di Youtube, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya. Ada banyak video yang mengomentari pendapat orang lain, baik yang menyalahkan atau membenarkannya. Akan tetapi yang mengomentari dan yang dikomentari tidak pernah bertemu, berdiskusi, berdialog, mencari titik temu diantara keduanya. Yang lebih parah lagi, banyak ulama yang pendapatnya dikomentari orang yang entah seberapa dalam penguasaannya dalam ilmu agama. Komentar yang mengkritik menjadi lebih salah daripada yang dikritik, namun itu bisa viral dan dianggap benar oleh mereka yang juga tak paham perbedaan antara “berlian” dan “batu kerikil”.
Imam Al Ghazali sebelum menggugat para filosof, selama bertahun-tahun ia mempelajari ilmu filsafat, dan berdiskusi dengan para filosof dengan menggunakan pikiran mereka. Barulah ia menulis buku pengantar ilmu filsafat yang berjudul “Maqashidul Falasifah”. Kemudian ia kembali melakukan penelitian tentang ilmu filsafat, hingga sampai pada kesimpulan yang mengkritik filsafat. Barulah ia menulis “Tahafutul Falasifah”, Kerancuan Para Filosof yang merupakan kritik terhadap pemikiran para filosof yang terpengaruh filsafat Yunani. Begitu hati-hati dan rendah hatinya Imam Al Ghazali sehingga judul bukunya pun tidak menggunakan kata “kesesatan”, tapi “At Tahafut”, yang berarti kerancuan. Rancu karena tidak jelas, namun masih mungkin dicari kejelasannya.
Oleh karena itu Ibnu Rusyd menulis sanggahan atas kritik Al Ghazali, dengan menulis “At Tahafut At Tahafut”, Kerancuan At Tahafut. Di kitab itu Ibnu Rusyd juga menyanggah Al Ghazali dengan argumen jelas dan tajam, tanpa menggunakan kata cacian dan hinaan untuk mengkritik Al Ghazali yang ia anggap belum sepenuhnya menjelaskan filsafat dengan tepat dalam kitabnya.
Namun itu hanya terjadi di masa lalu, dan dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan berkarakter baik. Tentunya hal tesebut didukung oleh iklim intelektual dan keadaan masyarakat yang masih menghargai perbedaan pendapat dan dialektika pemikiran.
Mungkin kita akan sulit menemukan teladan tersebut di masa kini, di era disrupsi ketika tabayyun dianggap legenda yang belum dipahami oleh generasi milenial yang lebih akrab dengan internet dan media sosial daripada buku dan majelis ilmu. Sayangnya, fenomena tersebut telah menyebar dan juga diikuti oleh banyak orang, termasuk mereka yang dianggap cendekiawan, atau ulama. Walhasil tabayyun semakin asing bagi orang awam, dan mereka juga mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka anggap panutan.
Apakah ini memang fenomena yang menjadi bagian takdir yang tak bisa dirubah, ataukah kita masih bisa berusaha kembali membudayakan tabayyun di tengah era disrupsi yang mencabut segalanya dari akarnya ?
Semoga saja Allah masih memperkenankan perubahan yang lebih baik, agar anak cucu kita kelak masih bisa mengenal dan mau mengamalkan tabayyun. Aamiin.[]
Oleh : AKBAR SYAMSUL ARIFIN M.PdI – Staf Khusus Bidang Pendidikan YBWSA