Murid Harus Hormat Guru
Imam Al-Ghazali menyampaikan “Hendaknya bagi seorang murid tidak menyombongkan ilmunya dan juga tidak menentang gurunya”. Oleh sebab itu di dalam konteks tersebut, kita ingin memperoleh ilmu yang manfaat barokah. Bersikap tawadhu kepada guru dan dosen kita dan ini adalah salah satu upaya realisasi dari Birrul Walidain. Bersama-sama bertawadhu dan berbakti kepada guru dan dosen kita. Tidak diperkenankan seorang murid untuk menyombongkan diri apalagi menyombongkan ilmunya.
Ada kisah yang menarik yang dialami oleh ibnu As-Sakandari, kita mengenal Ibnu Athaillah adalah ulama terkenal dari Andalusia bahkan beliau lahir tahun 600 Masehi, beliau lahir tahun 600 Hijriah dan wafat tahun 672 Hijriah. Beliau ini mengarang kitab yang sangat terkenal di dunia Pesantren yaitu Alfiah Ibnu Malik. Saking hebatnya nya ulama ini beliau mengarang kitab Alfiah itu di luar kepala bahkan beliau sudah menghafalkan dulu apa yang beliau karang 1000 bait. Kenapa disebut dengan Alfiah karena berisi ribuan daripada bait tetapi uniknya bahwa kata pertama yang disampaikan di dalam Alfiah itu ada fi’il madhi menunjukkan masa yang sudah lampau. Harusnya kebanyakan para Mualif kitab di dalam mengarang memakainya adalah fi’il mudhor yang bermakna. Ternyata Imam Ibnu Malik itu sudah menghafal dulu 1000 bait yang beliau karang. Baru setelah genap 1000 beliau tuliskan ada hal yang menarik. Ketika beliau menuliskan kitab itu baru sampai bait yang kelima tiba-tiba kemudian hafalan beliau 995 bait itu seakan hilang dan sirna dari pemikiran beliau. Ketika itu beliau menulis sampai kepada bait kelima yang artinya kitab ini menghendaki kerelaan tanpa kemurkaan yang mengungguli Kitab Alfiahnya Ibnu Mu’thi. Beliau menulis dengan mengatakan bahwa kitab Alfiah ini adalah mengungguli Kitab Alfiyahnya Ibnu Mu’thi. Padahal Ibnu Mu’thi adalah guru beliau seakan beliau itu menuliskan bahwa apa yang ditulis sebagai karyanya lebih mengungguli dibanding daripada gurunya. Ketika itu tiba-tiba hilang hafalan beliau. Beliau berusaha mencari tahu kira-kira apa yang menyebabkan ini terjadi. Beliau pun kemudian berziarah ke makam gurunya. Setelah beliau mendoakan gurunya, beliau kemudian bermimpi di dalam mimpinya. Beliau ditemui gurunya, gurunya pun dengan tersenyum menemui beliau dan mengatakan “Wahai muridku Ibnu Malik, apakah engkau lupa dengan diriku?”. “Tidak guru, aku ingat. Panjenengan adalah guruku”. Ibnu Malik pun terbangun dan beliau merasa memiliki jawaban kenapa hafalan beliau yang mengarang kitab dan kemudian beliau 995 bait itu tiba-tiba hilang, beliau pun kemudian beristighfar kepada Allah bahwa mungkin telah muncul kesombongan di dalam diri. Beliau menyampaikan bahwa karya kitabnya Alfiah ini yang dikarang lebih hebat dibanding Alfiahnya punya gurunya. Beliau pun kemudian menambah dua bait yaitu beliau lebih memperoleh keutamaan yaitu guru kami, yaitu Ibnu Mu’thi. Sebab beliau berhak atas sanjungan dan keindahan karena beliau lebih awal di dalam membuat karya yang semacam ini. Beliau menambah satu bait lagi yang artinya “Semoga Allah menetapkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau Guruku pada derajat akhirat yang tinggi”. Setelah beliau menyanjung gurunya, beliau diingatkan oleh gurunya bahwa “Hakikatnya seorang murid harus bertawadhu terhadap gurunya”. Maka tiba-tiba 995 bait yang tadinya hilang tiba-tiba muncul dan kemudian jadilah kitab Alfiah yang awalnya 1000 bait menjadi 12 bait. Sebab yang dua bait itu tambahan untuk menyanjung gurunya dan ternyata keberkahan ilmu kemudian muncul.
Dari cerita ini tentu kita menjadi harus betul-betul bertawadhu kepada guru kita, kepada dosen kita, kepada orang tua kita. Sehebat apapun diri kita, kita bisa menjadi seperti ini karena barokah ilmu dan doa guru-guru kita.
Pemateri : Moh Farhan Husain, S.Pd.I., S.Hum., M.Pd.I.
Source: https://youtu.be/0XV8A_a3m48