AKTUALISASI SYARAT SHALAT DALAM KEHIDUPAN
Shalat merupakan suatu upacara (ceremony), lebih spesifik upacara keagamaan Islam. Menurut bahasa shalat berarti do’a, sedangkan menurut istilah shalat berarti suatu sistem ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan (bacaan) dan laku perbuatan, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, berdasar atas syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu (Razak, 1981:178).
Ibadah ini mempunyai nilai dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. Allah Swt. berfirman dalam al-Quran bahwa shalat wajib dikerjakan orang yang beriman:
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. “
Al-Quran Surat An-Nisa’ : 103
shalat untuk mengingat Allah dan memohon pertolongan-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Al-Quran Surat Al-Baqoroh : 153
shalat yang khusu’ akan diperoleh keberuntungan :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat-nya”.
Al-Quran Surat Al-Mu’minun Ayat 1-2
shalat dapat mencegah keburukan:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”.
Al-Quran Surat Al-“Ankanut Ayat 45
Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa shalat sebagai tiang agama, siapa yang mengerjakannya dia menegakkan agama dan yang tidak mengerjakan dia merubuhkannya. Beliau juga bersabda bahwa shalat merupakan mi’rajul-mu’miniin, shalat menjadi pembatas antara orang yang beriman dan yang tidak beriman, dan shalat adalah amalan yang dihitung pertama kali pada hari kiamat kelak.
Namun demikian, banyak kaum muslimin yang belum banyak mengaktualisasikan ajaran shalat dalam kehidupan. Mereka hanya melakukan “shalat ritual” dalam lima waktu sehari semalam, tetapi belum banyak dilanjutkan ke “shalat aktual”, yaitu mengamalkan (mengaktualisasikan) ajaran shalat ritual dalam kehidupan sehari-hari. Banyak muslim melakukan “STMJ” (Shalat Terus Maksiat Jalan). Nabi Saw. menyatakan, ”Akan datang suatu jaman atas manusia, mereka melakukan shalat namun pada hakekatnya mereka tidak shalat” (HR Ahmad). Rasulullaah Saw. juga menyatakan, ”Kececeran (keteledoran) yang pertama yang kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang terakhir ialah shalat. Sesungguhnya (akan terjadi) orang-orang melakukan shalat, sedang mereka tidak berakhlaq” (HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah).
Syarat Shalat
Tulisan ini hanya membahas tentang syarat shalat dan bagaimana mengamalkan ajaran syarat shalat dalam kehidupan. Syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi agar apa yang diinginkan atau dilakukan dapat diterima (sah), sedangkan sesuatu itu berada di luar apa yang diinginkan atau dilakukan tersebut. Ibadah shalat dapat diterima oleh Allah Swt atau menjadi sah apabila syarat-syaratnya dipenuhi sebelum pelaksanaan shalat. Syarat-syarat shalat antara lain pelakunya seorang muslim, baligh (dewasa) dan berakal sehat, mengetahui waktunya, suci dari segala najis (kotoran), menutup aurat, dan menghadap kiblat (Rifai, 1976:35; Shiddieqy, 1974:105-109).
Shalat dilakukan oleh orang Islam (muslim), yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan tunduk kepada Allah Swt agar terjamin keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini berarti bahwa status muslim merupakan status simbol yang menggambarkan keadaan atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pemegang status tersebut. Status ini analog dengan status yang lain. Status mahasiswa, dosen, guru, petani, dokter, kepala keluarga, dan lainnya menggambarkan keadaan atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pemegang status itu. Seorang mahasiswa harus mampu menggambarkan dirinya sebagai seorang mahasiswa, bukan seorang anak jalanan. Seorang dokter harus berbuat sebagaimana layaknya dokter, bukan petani. Seseorang harus mampu memerankan status yang dipegang dengan benar dan tepat.
Shalat merupakan amanat Allah Swt. Orang yang mengerjakannya harus berakal sehat dan dewasa. Kedewasaan dan akal sehat seseorang mampu mengemban amanat yang ada dalam statusnya. Amanat hanya bisa diemban oleh orang-orang yang berakal sehat dan dewasa, sedangkan orang yang gila dan masih kanak-kanak tidak dibebani dengan amanat; mereka bebas dari hukum. Hal ini lebih jelas lagi jika melihat bahwa agama Islam sebagai ad-diinul-‘aql (agama akal), yaitu agama yang melibatkan akal sehat manusia dalam memecahkan atau mempertimbangkan sesuatu.
Kehidupan manusia tidak lepas dari dimensi waktu. Dengan waktu itulah roda sejarah hidup manusia berjalan. Agar dapat mengikuti sejarah hidupnya, manusia dituntut untuk memahami waktu (lampau, sekarang, besok). Pengabaian terhadap waktu akan mengakibatkan manusia terasing dalam sejarahnya, yang pada gilirannya akan melahirkan stagnasi (statis) karena ia tidak mengenal kedinamisan. Hal inilah makna dari mengetahui waktu ketika melaksanakan shalat.
Sebelum melaksanakan shalat seseorang harus menyucikan diri dari segala bentuk najis (kotoran), baik raga, tempat, pakaian, maupun jiwanya. Keharusan ini dilakukan sehari semalam lima kali, sejak anak-anak (sepuluh tahun) hingga dewasa. Oleh karena itu makna simbol ini adalah bahwa setiap muslim harus senantiasa suci (bersih) dalam kehidupannya. Dengan demikian seorang muslim seharusnya dapat terhindar dari segala bentuk kenegatipan seperti korupsi, manipulasi, mencuri, berjudi, dan prostitusi.
Syarat shalat yang lain adalah menutup aurat, yaitu menutup bagian tubuh yang seharusnya tidak diperkenankan terlihat. Syarat ini merupakan adab kesopanan dalam hal pakaian saat menghadap Tuhan yang Maha Esa. Jika setiap hari dilatih untyuk menerapkan adab kesopanan ini, maka seseorang akan terbiasa dengan kehidupan yang indah dan bersih. Aurat seseorang menyangkut harga diri. Menurut aurat berarti menjaga harga diri agar tetap dihormati. Pepatah Jawa mengatakan, Ajining sarira gumantung ana ing busana (harga diri tergantung pada pakaian yang dipakai). Selain harga diri, menutup aurat bermakna simbolik lain, yaitu menyimpan rahasia dengan teguh, baik rahasia pribadi, kelompok maupun negara. Dalam hal ini aurat dianggap sebagai rahasia.
Para ulama bersepakat bahwa orang yang akan mengerjakan shalat secara wajar (bukan darurat) diwajibkan menghadap ke kiblat di Makkah. Ka’bah menjadi titik sentral dari konfigurasi lingkaran. Hal ini karena pada saat shalat kaum muslimin yang berada di timur ka’bah menghadap ke barat, yang di selatan mengahadap ke utara, yang di barat menghadap ke timur, yang di utara menghadap ke selatan. Konfigurasi lingkaran ini mempunyai makna simbolik yang mendalam. Seluruh isi jagat raya, baik jenis makrokosmos maupun mikrokosmos, menunjukkan konfigurasi lingkaran. Seluruh isi alam semesta bergerak melingkar. Dalam skala makro dapat diketahui bahwa bulan mengelilingi bumi sembari dia sendiri berputar pada porosnya. Bulan dan bumi, sembari bumi sendiri berputar pada porosnya, mengelilingi matahari. Planet-planet lain juga melingkari matahari. Dalam skala mikro dapat diketahui bahwa setiap benda mempunyai molekul yang terdiri dari atom-atom. Inti atom yang berupa netron dikelilingi oleh proton dan elektron. Selain menunjukkan gerak orbital, shalat menghadap kiblat juga menunjukkan adanya kesatuan dan kekompakan ummat Islam yang pada gilirannya akan membentuk satu kesatuan ummat manusia (unity of mankind). Kesatuan ini terwujud karena kesepakatan dan kebersamaan ummat tersebut. Kesepakatan ummat terlihat ketika shalat dengan menyembah Tuhan yang sama, menghadap kiblat yang sama, melakukan gerak yang sama, dan meneladani Nabi yang sama.
Penutup
Dalam hadits qudsi, Rasulullah Saw bersabda, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Tidak semua orang yang shalat itu bershalat. Aku hanya menerima shalatnya orang yang merendahkan diri kepada keagungan-Ku, menahan syahwatnya dari perbuatan haram larangan-Ku dan tidak terus-menerus bermaksiat terhadap-Ku, memberi makan kepada yg lapar dan memberi pakaian orang yang telanjang, mengasihi orang yang terkena musibah dan menampung orang asing. Semua itu dilakukan karena Aku.” (HR. Ad-Dailami)
Kaum muslimin dapat berpartisipasi dalam pembinaan masyarakat dengan mengaktualisasikan ajaran dalam shalat. Shalat dipenuhi dengan hal-hal yang positif seperti demokratisasi, solidaritas sosial, kedisiplinan, kebersihan, kejujuran, keseriusan, keteladanan, kesabaran, kepemimpinan yang ideal, dan sebagainya. Akhirnya, ummat Islam hendaknya tidak hanya “mengerjakan shalat” tetapi harus meningkat pada “menegakkan shalat”, yaitu mengerjakan shalat dengan benar dan kemudian menterjemahkan makna simbolik shalat dalam kehidupan kongkrit. Dengan kata lain, setelah melaksanakan “shalat-shalat ritual” dilanjutkan dengan “shalat-shalat aktual”. Shalat aktual adalah shalat ritual yang telah diterjemahkan atau dianalkan ajarannya dalam realitas empirik.
Oleh : Drs. Muhammad Muhtar Arifin Sholeh, M.Lib. – Dosen Fakultas Agama Islam UNISSULA